Kisah Muslimah Lolos dari Maut
Tragedi Karamnya KM.Marina Baru, 19 Desember 2015
Mohon maaf jika tulisan saya mengganggu layar baca anda, Izinkan saya untuk berbagi.
Saya mengenalnya sedari dulu di SMA. Dia adalah adik perempuan dari teman laki-laki saya. Kedekatan kami semakin erat saat dia menjadi teman kerja di Tata Ruang,Dinas PU Kolaka.
Begitupun dua anak itu. Satunya kelas 1 SMA, yang kecil kelas 4 SD. Saya cukup baik mengenal keduanya.
Berita tentang karamnya kapal fiber glass KM. Marina Baru di Perairan Siwa yang berlayar dari Kolaka begitu cepatnya menyebar. Seharusnya kapal itu telah tiba di tujuan pukul 15.00 WITA. Tetapi Qadarullah, hampir semua teman saya di Sulawesi memposting berita yang sama.
Saya pun tak ketinggalan.Malam itu jelas sekali saya mempost sebuah tautan tentang kapal tersebut yang kemasukan air.Setengah jam berlalu, tiba-tiba handphone suami saya berdering. Rekan kerja saya yang lain mengabarkan tentang Ulfah, demikian kami memanggilnya yang ikut menumpang di kapal itu bersama dua keponakannya. Mereka berencana akan ke Sengkang (Sulsel).
Di ujung telpon, saya tahu Leli (si penelepon) tengah terisak mengabarkan itu. Kaki saya sejujurnya gemetar. Kapal itu awalnya dikabarkan kemasukan air, mesinnya mati, hilang kontak, kemudian karam.
Bagaimana tidak gemetar, sepertinya belum lama berlalu kisah tragis Kapal Fery Windu Karsa yang berlayar menuju Kolaka, tenggelam di Perairan Bone.Korban jiwa sangatlah banyak. Kerabat kami pun ‘hilang’ di sana.
Pasca telepon itu, malam terasa sangat panjang. Mata kami tak bisa terpejam. Suami saya yang ikut gelisahpun, kulihat hanyut dalam doa di tahajud sepertiga malamnya.
Ulfah sudah seperti adik kami.
Malam itu kami menghubungi keluarga di Kolaka Utara, Siwa dan Sampano, tapi hasilnya nihil.
Siang tadi, di depan gerbang rumahnya.
“Leli, tidak tahu apa saya mo bilang pertama…. ??” (Lel, saya tak tahu mau berkata apa untuk membuka pembicaraan..)
Leli hanya tersenyum, dan kami pun masuk ke dalam rumah..
Saya selalu berprasangka baik pada Allah. Tapi sebagai manusia biasa, sungguh kehilangan kontak dengan Ulfah dan kabar tenggelamnya kapal sempat membuat pikiran saya ke mana-mana. Kalau-kalau….. jangan-jangan….
Memeluknya kembali siang ini seperti mimpi. Dia pun begitu. Bermalam di lautan baginya juga seperti mimpi, itu katanya siang tadi.
Mendengarkan dia berbagi pengalamannya, sembari sesekali ku lihat tangannya yang terluka karena tali tambang saat dievakuasi.
19 jam terapung di lautan, hanya berdua dengan keponakannya yang kecil itu. Keponakan satunya lagi, terpisah karena di seret arus dan ombak tinggi saat mereka bertiga lompat ke luar kapal yang airnya sudah setinggi dagu anak SD itu.
Setiap kali Ikram (si kecil), berkata lapar dan haus setelah terombang-ambing di lautan, dia akan berkata:
“Telan saja air liurnya nak, berniatlah..semoga itu bisa membuatmu kenyang dan tidak haus lagi…”
“Tapi tante, kalo nanti kita selamat..saya akan makan banyak. 4 waktu makan sudah kita lewati..”
Ikram sangatlah kooperatif selama kami dalam keadaan itu, demikian kata Ulfah.
Anak itu selalu mendengar apa yang disampaikan, termasuk instruksi menutup hidung agar air laut tak masuk ke dalam hidung, setiap kali ombak akan datang menerjang mereka.
Ikram tak akan terlalu jauh terseret arus.Dia akan tetap berupaya menarik keponakannya, jika ikatan tangan mereka terlepas. Satu lagi, kaki anak itu dilingkarkan di pinggang tantenya. Jika tangan terlepas, masih ada kaki yang terkait. Cerdas. Pikiran perempuan ini masih berfungsi di tengah kondisi seperti itu. Terkadang kepanikan membuat kita mati akal.